Pendidikan

KH. Muhammad Thohir (Alm), Sosok Sederhana Pendiri NU di Lampung

KH. Muhammad Thohir (Alm)

OTENTIK (PESAWARAN)–Tak dinyana, salah seorang dari cucu KH. Muhammad Thohir yakni Hi. Abdul Malik Bin Hi. Arifin (96), yang kini tinggal di Pasar Baru Kecamatan Kedondong Kabupaten Pesawaran merupakan salah seorang cucu dari KH. Muhammad Thohir (Alm).

Hi. Abdul Malik Bin Hi. Arifin ini merupakan pensiunan Kepala SD Nabang Sari Kecamatan Kedondong Kabupaten Pesawaran. Ia dikarunia 12 orang anak, hasil pernikahannya dengan Hj. Husnah Binti Hi. Umar. Dari ke-12 orang anaknya itu, tiga diantaranya perempuan dengan sembilan laki-laki.

“Ayah saya merupakan salah seorang cucu dari almarhum KH. M Thohir,” ungkap Khattab, salah seorang buyut dari almarhum KH. Muhammad Thohir (Pemimpin Umum/Penanggungjawab SKU Media Pringsewu) dan anak nomor ke-9 dari Hi. Abdul Malik Arifin.

Untuk diketahui, KH. Muhammad Thohir adalah seorang tokoh agama asal Lampung Barat. Lantaran ilmu agamanya yang tinngi, ia cukup disegani dan terkenal di zamannya. Ilmu agama ia peroleh dari belajar selama 30 tahun di tanah Arab, yaitu Mekah, Madinah, Mesir, Palestina, dan Baghdad. Salah seorang gurunya yakni Syech Abdul Qodir Jaelani, yang banyak mengajarkan ilmu tarekat.

Semasa hidupnya, KH. M. Thohir dikenal memiliki pendirian yang keras serta tegas terhadap hukum agama Islam. Meski begitu, beliau dikenal sebagai ulama yang lemah lembut dalam berbicara dan suka memaafkan orang lain.

Menurut salah seorang cucu beliau, H. Johan Iskandar TH, Ketua PCNU Lampung Barat, dalam mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat, kakeknya tidak pernah meminta pamrih atau memungut bayaran. Semua santrinya yang berjumlah sekitar 200-an, keseluruhannya tinggal dirumahnya.

Selain mengajarkan ilmu agama, KH. M. Thohir juga kerap mengobati orang yang sakit dengan berbagai keluhan. Bahkan tak jarang, diantara pasiennya yang harus menetap dirumahnya hingga berminggu-minggu hingga sembuh. Kebutuhan sehari-hari pasien ditanggungnya dan itu ia lakukan tanpa pamrih.

Di tahun 1936, KH. M. Thohir mengikuti Muktamar Nahdlatul Ulama di Menes, Serang, Banten. Ada tiga usulan beliau dalam muktamar tersebut, seperti diungkapkan oleh KH Syukron Makmur, pemimpin Pondok Pesantren Darul Kalam, Jakarta. Yaitu, Pembentukan Lembaga Pendidikan NU, Muslimat NU, dan Bank Islam. Usulan terakhir diduga merupakan cikal bakal bank berbasis syariah yang banyak dikenal belakangan ini.

Sepulang dari muktamar, KH. M. Thohir membentuk forum silaturahmi alim ulama yang disebut jaringan NU di Lampung. Jaringan inilah yang kelak menjadi organisasi NU di Propinsi Lampung, yang ketika itu masih bergabung dalam Provinsi Sumatera Selatan.

KH Muhammad Thohir lahir dengan nama Adjma, anak H. Ahmad Khotob, seorang keturunan Banten yang hijrah ke Lampung. Sejak kecil, Adjma sudah menunjukkan ketaatannya terhadap ajaran agama Islam. 

Di kampungnya, Pekon Penengahan, Laai, Krui (yang kini masuk Kabupaten Pesisir Barat) Adjma kecil belajar mengaji dan ilmu fiqih. Ketika berusia 16 tahun, Adjma berangkat ke Mekah untuk melanjutkan pelajaran agamanya dan menunaikan ibadah haji. Di tanah suci ini, Adjma mengganti namanya menjadi Haji Muhammad Thohir.

Tak lama di Mekah, M. Thohir berangkat ke Kairo, Mesir, untuk memperdalam ilmu agama di Perguruan Al-Alzhar. Disana, M. Thohir tinggal di asrama yang disebut Ruwak Jawa yang artinya Asrama Jawa. 

Dari M. Thohir mengunjungi Masjidil Aqso di Palestina, beliau kemudian  menuju Baghdad dan berguru pada Syech Abdul Qoodir Al Jaelani. Semua perjalanan itu ia tempuh dan lakoni dengan berjalan kaki.

Menurut salah seorang sahabat beliau selama di perantauan, KH Abdul Razak–yang berasal dari Penengahan, Way Lima Lampung Selatan–seperti dituturkan pada keluarga M. Thohir, para sahabat kerap tidak bisa mengikuti perjalanan beliau.

KH. M. Thohir suka sekali berziarah ke makam para nabi dan wali, terutama di Makam Nabi Musa AS. Ketika baru pulang dari Mesir, beliau memiliki Batu Musa yaitu batu yang dipukul Nabi Musa dengan tongkat ketika laskarnya kehausan, yang kemudian dari batu itu mengeluarkan 12 mata air.

Ada lima rekan perjuangan KH M. Thohir ketika menuntut ilmu di tanah Arab. Selain KH. Abdul Razak, ada KH. Hasbullah dari Kota Agung Kabupaten Tanggamus, KH Abdullah Syafi’uddin dari Rawa Bangke, Jatinegara-Jakarta, KH. Syaim’un dari Citangkil Serang Banten, dan KH. Dahlan Djambek asal Payakumbuh Sumatera Barat.

Setiba dikampung halamannya, KH. M. Thohir disambut dengan suka cita oleh masyarakat, terutama oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat. KH Thohir menikah dengan seorang gadis bernama Jamilah, namun pernikahannya tidak lama, lantaran Jamilah meninggal dunia. KH Thohir lalu menikah dengan Fatimah dan kemudian dikarunia tiga orang anak.

KH M. Thohir mulanya mengajar agama di Pekon (Kampung) Balak Way Tegaga, Liwa, Lampung Barat. Beliau lalu diangkat oleh pemerintah Belanda menjadi guru agama Islam di Kewedanaan Krui. 

Pola pengajaran yang diterapkan yakni dengan bergiliran dari satu kampung satu ke kampung yang lain disetiap hari jumat di masing-masing kampung.

Pada tahun 1915, KH. M. Thohir bersama-sama dengan anak-anaknya pindah ke Pekon Way Suluh, Krui, dan membuat sawah. Lalu tahun 1925, beliau mendirikan sebuah rumah di kampung tersebut yang dinamakan “Lamban Pardasuka” yang artinya adalah Rumah Bersama. Di rumah bersama inilah para santri yang berasal dari Krui, Liwa, dan Muara Dua, Sumatera Selatan menetap.

Sejak tahun 1945, KH. M. Thohir sering sakit-sakitan. Namun, meski dalam keadaan sakit, beliau tepap mengajar hinggat akhir hayatnya. Beliau wafat pada tanggal 18 Januari 1950 bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal tahun 1370 dalam usianya ke 90 tahun. (*)


Comments