Berita Hangat

"Sudah Ngopi Belum, Meneng-Meneng Bae"

Oleh Herman Batin Mangku *)

 

"Sudah ngopi belum? Meneng-meneng bae!" Kalimat yang sedang viral saat ini. Suasana jadi cair dengan kalimat tersebut. Mereka yang sedang debat kusir soal pilbup, pilgub, hingga pilpres, kalimat ajakan ngopi bisa menurunkan tensi.

 

Kopi yang era VOC minuman bangsawan Eropa kini telah merakyat. Kopi yang dulu imejnya merusak kesehatan kini malah bikin bugar dan inspiratif. Siapapun bisa menikmatinya Rp25 ribu/gelas di kafe hingga Rp3 ribu/gelas di warung.

 

Lampung memasok 70 persen dari 650 ribu ton kopi nasional. Gubernur Lampung M Ridho Ficardo ikut mengkampanyekan minum kopi lewat billboard, lounching produk kopi, pameran, hingga lobi tingkat tinggi.

 

Penguasa daerah lain yang juga menghasilkan kopi turut berlomba mempromosikan kopi daerahnya yang paling paten. Aceh dengan kopi gayo, Sumbar ada kopi solok, kopi hitam Toraja, kopi luwak dari kotoran musang, dan lainnya.

 

Kopi telah mengangkat kesejahteraan petani, bikin makmur rantai pedagang, dan menghangatkan suasana pertemuan di kafe, warung kaki lima, seminar, dan berbagai tempat pertemuan lainnya. Kopi semakin menjadi gaya hidup.

 

Di antara kopi yang kita hirup, selain berasal dari perkebunan rakyat, ada juga yang dari kaki-kaki gunung, pinggang Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dari Lampung hingga Aceh. Perkebunan kopi terus merangsek kawasan hutan.

 

Pada tahun '88-an, penguasa kala itu sampai membakar gubuk dan perkebunan kopi yang berada dalam kawasan hutan. Tak keliru, biji kopi berjuluk emas hitam. Apa lagi saat ini hingga viral kata-kata : sudah ngopi belum, meneng-meneng bae.

 

Si emas hitam terus mengrangsek habitat hewan yang terancam punah, harimau dan lainnya. Ketika kembali ke teritorinya, habitatnya sudah jadi perkebunan kopi. Mereka makin sempit menemukan pakan sampai terpaksa ke minimarket ujung kampung. 

 

Ada empat penyebabnya : deforestasi, alih guna lahan, perburuan liar, hingga konflik dengan manusia. Ada 1056 kasus konflik harimau-manusia (2001-2016). Terakhir, Maret 2018, harimau Bonita berkeliaran di perkampungan Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.

 

Dalam kearifan lokal, harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) dijuluki nenek moyang kita beragam sebagai penghormatan terhadap hewan yang berada di puncak rantai makanan. Hewan yang mengontrol ekosistem. 

 

Mereka menjaga stabilitas populasi hewan lain seperti babi yang jadi hama petani dan perkebunan besar. Si raja hutan menjamin ketersediaan serangga yang bisa menyerbukan tanaman perkebunan dan pertanian. 

 

Keberadaan hewan yang berjuluk lemawong, maung, ompung, situe, inyiak balan dapat menjadi indikator lingkungan hidup yang memastikan ketersedian air dan mencegah bencana alam akibat hujan, kemarau, hingga pemanasan global. 

 

Si raja hutan yang sebenarnya pemalu itu kini tersisa tak lebih dari 700 ekor lagi dari Lampung hingga Aceh. Perburuan liar semakin mengacam punahnya harimau sumatra hanya karena mitos kedigdayaan organ tubuhnya.

 

Para penentu kebijakan juga belum maksimal berjuang mengembalikan populasi dan habitat hewan langka. Ketika terjadi konflik harimau-manusia, mereka kadang seperti pemadam kebakaran yang gagap.

 

Para calon pemimpin, dari cabup, cagub, hingga capres sepertinya tak begitu melihat isu lingkungan sebagai materi kampanye yang seksi. Kita bisa lihat sendiri visi, misi, program, janji, dan komitmennya pada lingkungan hidup. 

 

Padahal, siapapun tahu, terjaganya ekosistem, utamanya habitat hewan langka, jaminan kesejahteraan rakyat hingga anak cucu (sustainable). Saatnya, jelang pilbup, pilgub, dan pilpres, kita pilih calon pemimpin yang peduli lingkungan hidup. 

 

Berkoar-koar kesejahteraan rakyat, tapi mengabaikan isu-isu lingkungan hidup, bisa dipastikan figur calon pemimpin yang gagal paham tentang kesejahteraan rakyat itu sendiri, tak usah dipilih dan bilang : Sudah ngopi belum, meneng-meneng bae!

 

*) jurnalis

Comments