Keadilan Restoratif Menuju Keadilan Sosial
OLEH:
SUPARJI/GURU BESAR ILMU HUKUM UAI
OTENTIK (JAKARTA) – Sebagaimana di ketahui
bersama, esensi dan pengertian utama Restorative Justice adalah konsep
penyelesaian perkara pidana yang dilakukan dengan melibatkan semua pihak
terkait, dengan menggunakan pendekatan keseimbangan (the balanced
approach),yang pada akhirnya mewujudkan keadilan sosial (social justice)
Atau mengacu
pada prinsip dasar keseimbangan (equalibrium). Meski semua sangat tahu sekali,
keadilan bagi seseorang, bukan berarti keadilan untuk orang lain. Demikian
sebaliknya.
Berkenaan dengan
hal itu, penting digaris bawahi bahwa lahirnya ketentuan keseimbangan pada
prinsip Restorative Justice tidak serta merta bisa diberlakukan kepada
siapapun. Atau dalam hal ini, hanya
ditujukan kepada pengguna atau pemakai narkoba, dan bukan untuk bandar narkoba.
Pengguna
narkoba sekalipun, jika ditimbang sebagai pengguna atau pemakai narkoba pemula
dan dalam hitungan kecil. Karena itu, kewenangan penggunaan azas Restorative
Justice kewenangannya terletak pada institusi Kejaksaan sebagai pengendali perkara “dominus
litis”. Atau hanya Jaksa yang dapat menentukan seseorang dapat masuk ke ranah
pengadilan atau tidak.
Asas dominus
litis ini menegaskan bahwa tidak ada badan lain yang berhak melakukan
penuntutan selain Penuntut Umum atau Jaksa selaku Pembela Negara, yang bersifat
absolut dan monopoli. Penuntut Umum atau Jaksa Negara menjadi satu-satunya
lembaga yang memiliki dan memonopoli penuntutan dan penyelesaian perkara
pidana.
Wewenang
penuntutan dipegang penuh oleh Penuntut Umum atau Jaksa Negara sebagai
monopoli, artinya tidak badan lain yang boleh melakukan wewenang absolut ini.
Namun yang
pasti, sebagaimana dijelaskan dalam Pedoman Nomor 18 Tahun 2021, Tentang Penyelesaian Penangan
Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaa Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan
Pendekatan Keadilan Restoratif, Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa,
disebutkan penyelesaian perkara tindak pidana via mekanisme restorative
justice dilakukan dengan mengedepankan asas
kemanfaatan (doelmatigheid), mempertimbangkan asas peradilan cepat,
sederhana, dan biaya ringan, serta asas pidana sebagai upaya
terakhir (ultimum remedium).
Adapun syarat
pelaksanaan restorative justice termuat dalam Peraturan Jaksa Agung
Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan
Keadilan Restoratif dan Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang
Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.
Asas Keadilan
Restoratif ada dan mengada tidak dari ruang hampa. Apalagi ujug-ujug.
Pengalaman panjang di lapangan membuat institusi Kejaksaan merumuskan keadilan
restorasi ini. Dengan harapan, asas keadilan dapat terpenuhi.
Karena,
sebagaimana kita maklumi bersama, kala terjadi tindak kejahatan, mengakibatkan
terjadinya kerusakan hubungan di dalam tatanan masyarakat. Teristimewa bagi
para pihak yang terlibat, sehingga upaya untuk mengembalikan hubungan antar
kedua belah pihak, atau para pihak sangat diperlukan.
Karena acap
kali terjadi, pasca putusan pengadilan selama ini, masih dan cenderung
menyisakan konflik dan dendam antarpelaku dengan korban, contohnya dalam kasus
penganiayaan dan pembunuhan. Juga dalam kasus penyalahgunaan narkoba tingkat
awal, atau kecil-kecilan.
Bayangkan
jika misalnya pengguna narkoba tingkat awal tidak mendapatkan asas keadilan
restorasi, selain penjara akan makin penuh sesak. Pengguna awal narkoba bisa
semakin "jadi" saat "disekolahkan" di hotel prodeo. Alih-alih
akan tersembuhkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, pelaku atau pengguna narkoba
akan menjelma penjahat kambuhan.
Oleh karena
itu, model Restorative Justice telah banyak diterapkan di berbagai negara maju
di dunia seperti Amerika Serikat, Eropa, Australia, Jepang, Korea dan beberapa
negara lainnya.
Karena sangat
dipercaya, salah satu keuntungan yang didapat dari penerapan model ini adalah
mengurangi beban Lembaga Pemasyarakatan (LP) dalam menampung narapidana. Sudah
banyak contoh kasus, betapa kapasitas LP di Indonesia, jauh dari ideal dari
kapasitas seharusnya.
Selain itu,
dan ini selaras dengan semangat kemanusian, keadilan restoratif memberikan
suara kepada para korban dalam memutuskan bagaimana kerugian yang disebabkan
oleh kejahatan akan diperbaiki.
Dengan
demikian, korban dapat mengatakan apa yang terjadi pada mereka, dan
membicarakannya dengan anggota masyarakat yang terlatih dan mendukung. Atau
back up system dalam masyarakat benar-benar terjadi. Karena masyarakat menjadi
bagian para pihak yang mampu menyembuhkan dirinya sendiri.
Hal ini
menunjukkan keadilan restoratif dapat menjadi penting bagi masyarakat, karena
masyarakat dapat menyelesaikan konflik dan mencegahnya sebelum menjadi
kejahatan. Praktek restoratif sangat memungkinkan membuat masyarakat melihat
konsekuensi dari tindakan mereka pada masyarakat.
Keuntungan
lain dari penerapan asas keadilan restoratif adalah kebutuhan pelaku tindak
pidana untuk menebus kesalahan. Sebelum akhirnya pelaku bekerja untuk
mendapatkan kembali kedudukan yang baik di masyarakat.
Atau dapat
diartikan keadilan restoratif berikhtiar memperbaiki kerugian yang disebabkan
oleh kejahatan dan kekerasan dengan memenuhi kebutuhan korban. Dengan,
sekali lagi, melibatkan masyarakat dalam proses peradilan.
Turunannya,
sistem peradilan di Indonesia menjadi jauh lebih manusiawi. Karena sebagaimana
dikatakan Jaksa Agung sistem peradilan pidana saat ini cenderung punitif,
tercermin dari jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan yang melebihi kapasitas
(overcrowding) dan sebagian besar merupakan narapidana tindak pidana narkotika.
Isu
overcrowding ini telah menjadi perhatian serius masyarakat dan pemerintah
sebagaimana yang dituangkan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2020-2024 dalam rangka perbaikan sistem hukum pidana
melalui pendekatan keadilan restoratif.
Oleh
karenanya dibutuhkan kebijakan kriminal yang bersifat strategis, khususnya
dalam penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika, salah satuya
melalui reorientasi kebijakan penegakan hukum dalam pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang selanjutnya disebut UU Narkotika.
Reorientasi
kebijakan penegakan hukum dimaksud, dalam pelaksanaan tugas dan wewenang
Kejaksaan di bidang penuntutan dilakukan melalui optimalisasi lembaga
rehabilitasi.
Jaksa selaku
pengendali perkara berdasarkan asas dominus litis dapat melakukan penyelesaian
perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi pada tahap
penuntutan.
Penyelesaian
penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi
merupakan mekanisme yang tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan keadilan
restoratif, dengan semangat untuk memulihkan keadaan semula.
Yang
dilakukan dengan memulihkan pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang
bersifat victimless crime. (*)
Comments