Pembangunan

Orang Lampung Miskin di Lumbung Lahannya

Oleh Herman Batin Mangku *)

 

ORANG Lampung itu kaya raya, makmur sejahtera. Satu keluarga bisa memiliki lahan dari bukit ke bukit atau dari kali ke sungai. Marganya punya hutan ribuan hektare. Suara orang Lampung lantang kemungkinan dipengaruhi jarak antarpemukiman dan lahan yang luas.


Tapi, itu dulu. Sekarang, orang Lampung banyak yang miskin di sekitar ribuan hektare lumbung lahannya. Suara mereka lamat-lamat tertelan penguasa dan pengusaha atas nama hukum. Orang Lampung masih terdengar lantang di lahan parkir Pasar Tanjungkarang.


Kolonial Belanda mengakui adanya ribuan hektare lahan keluarga dan hutan marga (eigendom dan erfpacht). Namun, sejak terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, pengusaha mengambil alih lewat hak guna usaha (HGU) dan hak pengelolaan hutan (HPH). 


Contohnya ada di Kabupaten Lampung Utara, Setelah habis masa kontrak 75 tahun perkebunan karetnya, Belanda mengembalikan berkas sewa lahan ulayat PT Nakau kepada Pemerintah RI tahun 1997. Alih-alih balik kepada masyarakat adat, surat entah tersimpan di laci siapa. Korporasi baru yang akhirnya menguasai lahan.


Begitu luasnya lahan orang Lampung dahulu kala, Pemerintah Kolonial Belanda sampai mendatangkan warga dari Pulau Jawa, dibagi lahan marga, dan "bermuari" dengan masyarakat adat agar penjajah 350 tahun itu bisa menyewa dan mengolah tanah ulayat.


Konflik lahan orang Lampung dengan korporasi ini yang dibedah tiga akademisi Fisip Universitas Lampung, civitas akademika, dan wakil DPR RI di Fisip Unila, pekan lalu (27/2/2018). Mereka memaparkan data dan fakta konflik ribuan hektare lahan orang Lampung dengan Sugar Group Companies (SGC).


Tak semua berpikir akademis adanya pembahasan kooptasi lahan orang Lampung oleh SGC jelang Pilgub Lampung 2018. Ada juga yang beranggapan seminar tersebut berbau politis karena SGC disinyalir ikut menyiapkan bonekanya bertarung di pilgub Lampung sejak tahun 2015. 


Sah-sah saja kecurigaan tersebut. Meski yang terluas mengusai lahan orang Lampung, tak cuma SGC, masih puluhan hingga ratusan perusahaan perkebunan lainnya yang menguasai ribuan hektare yang beririsan dengah hak ulayat dan lahan keluarga orang Lampung. 


SGC salah satu potret dikooptasinya ribuan hektare lahan orang Lampung. Ketiga akademisi yang menyeminarkan data dan fakta dalam Buku "Konflik Lahan Perkebunan" itu Dr. Dedy Hermawan, Dr. Yusdianto, Dermawan Purba. 


Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ir. H. Ahmad Riza Patria, MBA dan Dekan Fisip Unila Dr. Syarif Mahya ikut nimbrung dalam seminar yang dipandu Drs. Budi Harjo, MIP. Dari alumni, ada Ketua Partai Gerindra Lampung Gunadi dan aktivis Reformasi Habiburahman. 


Mereka membedah kooptasi lahan SGC lewat pendekatan rezim kekuasaan, pengawalan oleh aparat keamanan negara, melanggar rencana tata ruang wilayah, melenyapkan wilayah konservasi dan merampas hak ulayat masyarakat.


Semua itu menambah ketidakadilan dan merugikan orang Lampung. Orang Lampung telah berulang kali memperjuangkan haknya melalui eksekutif, legislatif, dan peradilan. Terakhir, wakil rakyat sempat membuat Tim Pansus SGC, namun juga rontok sebelum aksi.


Hingga kini, penguasa belum ada yang berpihak kepada rakyat dalam penyelesaian konflik agraria. Penguasa lebih senang membela pengusaha ketimbang mengakui hak ulayat masyarakat adat. 


Empat cagub Lampung 2018 juga belum ada yang terdengar lantang akan membela ribuan hektare lahan orang Lampung dari kooptasi korporasi. Orang Lampung masih harus berjuang lebih keras memiliki saham atas lahannya. 


Meski, berdasarkan Pasal 33, UUD 46, kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Sebagian kecil orang Lampung sekitar kebun tak lebih dari pekerja pabrik.  Secuil corporate social responsibility (CSR) 2,5 persen dari laba perusahaan juga entah mengalir kemana saja?


Faktanya, kesejahterakan rakyat Lampung rendah, IPM rendah, kriminalitas tinggi. Ada kontradisi antara kekayaan daerah dengan kesejahteraan rakyatnya. "Jauh panggang dari api". Orang Lampung miskin di ribuan haktare lumbung lahannya. 

 

*) Pengurus PWI Lampung, Serikat Media Siber Indonesia, wartawan kopetensi utama.

 

Comments