Siapa Manipulasi Sejarah?
OLEH : ADIAN
NAPITUPULU
OTENTIK – Pada agresi militer Belanda ke 2, Soekarno Hatta memilih tetap bertahan di Jogjakarta yang sejak 4 Januari 1946 menjadi Ibukota Negara. Berikutnya Soekarno Hatta ditangkap pada 19 Desember 1948 saat Belanda berhasil kuasai Jogjakarta. Kemudian Soekarno Hatta dibuang Belanda ke Brastagi hingga Bangka.
Beberapa
waktu sebelum Soekarno Hatta ditangkap, mereka sempat memandatkan pada
Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI). Soekarno Hatta juga mempersiapkan rencana antisipasi
kemungkinan terburuk dengan mempersiapkan Exile Goverment (Pemerintahan dalam
pengasingan) di New Delhi India yang dipimpin oleh A.A Maramis dan Dr
Soedarsono jika PDRI tidak berjalan.
Pada 22
Desember 1948, Syafruddin Prawiranegara kemudian membentuk PDRI (Pemerintah
Darurat Republik Indonesia).
Berikutnya
Syafruddin Prawiranegara melalui PDRI membagi wilayah Sumatera menjadi 5
pemerintahan militer namun hingga awal Mei 1949 kabinet PDRI tidak kunjung
terbentuk, dengan demikian maka secara de facto dan de jure Sultan
Hamengkubuwono IX tetap menjadi Menteri Pertahanan Republik Indonesia
Fakta sejarah
bahwa Sultan Hamengkubuwono IX selain Raja Jogjakarta juga menjabat sebagai
Menteri Pertahanan saat itu di kuatkan juga oleh kehadiran Sultan Hamengkubuwono
IX dalam perundingan Roem Roeyen pada April 1949. Dalam perundingan itu dengan
tegas Sultan Hamengkubuwono sebagai Sultan dan Menteri Pertahanan mengatakan
secara tegas bahwa "Jogjakarta is de Republiek Indonesie"
Jadi kalau
dalam Tweet nya Fadli Zon mengatakan bahwa Humas Jogja keliru : "Keliru
@humas_jogja. Menteri Pertahanan ketika itu dirangkap Ketua Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI) sbg Kepala Pemerintahan, Sjafroeddin
Prawiranegara. Kabinet Hatta sdh berakhir dengan penangkapan
Soekarno-Hatta-Sjahrir-H Agus Salim. Dibentuklah Kabinet PDRI."
Pernyataan
Fadli Zon tersebut salah besar !! Fakta dan Dokumen sejarah justru menguatkan
pernyataaan Humas Jogja yang menyatakan bahwa : "Serangan Umum 1 Maret
1949 digagas oleh Menteri Pertahanan Indonesia sekaligus Raja Yogyakarta, Sri
Sultan Hamengku Buwono IX, dan dipimpin oleh Panglima Besar Jendral Soedirman,
serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad
Hatta"
Kesalahan
Fadli Zon mungkin berangkat dari salah baca terhadap tanggal dan bulan dalam
dokumen sejarah, karena sesuai dokumen, Pengangkatan Syafruddin Prawiranegara
oleh PDRI sebagai Menteri Pertahanan baru dilakukan dua bulan setelah Serangan
Umum yaitu pada tanggal 16 Mei sebagaimana Dokumen sejarah berupa surat yang di
tandatangani tanggal 19 Mei 1949 oleh R Marjono Danubroto selaku sekretaris
PDRI saat itu.
Lalu apa
peran Soeharto saat serangan umum 1 Maret di Jogja? Peran Soeharto ya sebatas
pelaksana perang semata, pelaksana yang di perintahkan berperang oleh
atasannya, bukan penggagas, inisiator atau pemilik ide apalagi pemegang peran
sentral. Bahkan sesungguhnya perintah perang pada Soeharto tersebut sudah
diberikan sekitar 2 bulan sebelum serangan umum 1 Maret melalui Perintah Siasat
Panglima Divisi III /Gub Militer III TNI yaitu Kolonel Bambang Sugeng sejak
tanggal 1 Januari 1949 dengan nomor 4/S/cop.I. yang isi nya memerintahkan Cdt
Daerah I (Lt.kol Moch Bachrun), Cdt daerah II (Lt.kol Sarbini) dan Cdt Daerah
III (Lt.kol Soeharto) untuk mulai melakukan perlawanan serentak sejak 17
Januari 1949.
Dengan
Demikian maka menurut saya Kepres Hari Penegakan Kedaulatan Negara atau Kepres
no 2 tahun 2022 yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi bukan hanya meluruskan
sejarah terkait gagasan, ide dan perintah tentang Serangan Umum 1 Maret namun
lebih jauh lagi Kepres itu boleh jadi juga sebuah upaya "menjaga"
nama Soeharto dengan membatasi agar tidak terjadi klaim berlebihan terhadap
peristiwa sejarah tersebut. Kenapa saya katakan "menjaga" ? Karena
Klaim berlebihan seolah Soeharto menjadi tokoh sentral yang menjadi
"sutradara sekaligus aktor pemeran utama" dalam serangan umum 1 maret
bisa saja kemudian ditafsirkan bahwa Soeharto seolah telah
"meniadakan" struktur negara yaitu Presiden, Wakil Presiden hingga
Menteri Pertahanan dan meniadakan struktur TNI yang ada diatasnya saat itu,
diantaranya Panglima Besar Soedirman dan Panglima Divisi III selaku atasan
Letkol Soeharto.
Menurut saya
yang menarik untuk di pertanyakan justeru apa motif Fadli Zon "mengarang"
sejarah seolah ingin menjadikan Soeharto sebagai tokoh utama serangan umum 1
Maret? Apakah "karangan"
tersebut sebagai balas budi pada Soeharto yang mengangkatnya menjadi anggota
MPR tahun 1997 atau justeru mungkin bisa di tafsir untuk menjerumuskan Soeharto
agar dianggap sebagai Letkol yang melakukan perang tanpa perintah Presiden,
Menhan, Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Kolonel Bambang Sugeng selaku
panglima Divisi III wilayah Jawa Tengah dan Jogjakarta ?
Kita tentu
tak bisa simpulkan apa motif nya tapi pernyataan Fadli Zon telah memaksa kita
membuka kembali dokumen sejarah tidak hanya tentang 1 Maret tapi ikut terbuka
juga catatan kekerasan, memori luka, daftar nama korban penculikan, penembakan
misterius, tanjung priok 1984 serta deretan "luka" lainnya.
Pernyataan Fadli memaksa kita kembali menggali ingatan demi ingatan masa lalu
yang selama ini mulai memudar oleh waktu dan kedewasaan dari usia kita sebagai
Bangsa.
Akhir kata,
daripada Fadli Zon meminta Pemerintah merevisi Kepres tersebut maka jauh lebih
baik Fadli Zon merevisi kembali ingatan, bacaan dan alur logika sejarah nya
agar tidak terjadi seperti apa kata pepatah Kerbau punya susu, sapi punya nama.
(Ida/rls)
Comments