Keterangan Ahli, Mematahkan Alat Bukti dan Keterangan Saksi yang Diajukan JPU
OTENTIK
(TANGGAMUS) – Penggunaan kata saksi ahli sudah
menjadi kebiasaan di dalam praktik peradilan. Perlu diketahui bahwa penyebutan
saksi ahli akan lebih tepat penyebutannya hanya ahli tanpa menggunakan kata
“saksi”. Hal ini dikarenakan berdasarkan Pasal 154 Herziene Inlandsch Reglement
(HIR) maupun Pasal 215-229 Reglement of de Rechtsvordering (Rv) tidak
menyebutkan saksi ahli di dalam pengaturannya melainkan hanya kata ahli. Selain
itu, penyebutan saksi ahli dianggap rancu karena tidak terdapat satu pasal pun
yang menyebutkan saksi ahli di dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal
184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa
alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk
dan keterangan terdakwa.
Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), salah satunya dalam Pasal 132 Ayat (1) yang
menyebutkan “Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu
atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan
penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari
orang ahli.
Keterangan
ahli yang dimaksud adalah dari seorang saksi ahli yang dianggap menguasai suatu
bidang objek yang diperkarakan perkara dalam sidang.
Saksi Ahli
adalah Saksi yang menguasai keahlian tertentu menurut pasal 56 KUHAP. Tersangka
atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau seseorang
yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan
bagi dirinya. Definisi Saksi Ahli/Keterangan ahli menurut Pasal 1 angka 28
KUHAP : Keterangan yang diberikan oleh
seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dalam perkara pidana,
keterangan ahli diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (“KUHAP”) yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam pengadilan
pidana salah satunya adalah keterangan ahli. Lebih lanjut Pasal 186 KUHAP yang
mengatakan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan.
Pengadilan
Negeri Kota Agung, Kabupaten Tanggamus, kembali menggelar sidang kasus
Pembunuhan terhadap Dede Saputra yang terjadi pada bulan Juli tahun 2021,
dengan agenda mendengarkan keterangan saksi yang meringankan dan mendengarkan
keterangan saksi Ahli Hukum Pidana, Kamis (19/5/2022).
Sidang yang
dipimpin Hakim Ketua, Ari Qurniawan, S.H., M.H., dan 2 orang Hakim anggota masing-masing Zakky Ikhsan
Samad, S.H., dan Murdian S.H., sidang dimulai pukul 13.00 WIB, dan selesai pada
pukul, 20.15 WIB.
Adapun agenda
sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan saksi yang meringankan kedua
terdakwa, dan mendengarkan keterangan saksi ahli yang di hadirkan oleh tim
penasehat hukum dari kantor pengacara Wahyu Widiyatmiko & Partner.
Adapun para
saksi yang meringankan, yang di hadirkan oleh tim penasehat hukum sebanyak 5
orang, masing-masing 1. Nazrul Huda, 2. Ikhsan Eksandi, 3. Anis Kafitri, 4. S
Pratama Wibawa Putra, 5. Aldi Yanto, 6. Agus Andi Wijaya, dan 1 orang Ahli Hukum Pidana yakni DR. Eddy Rifai, S.H.
M.H., Dosen Magister Ilmu Hukum Pidana, Universitas Lampung (Unila) yang akan
di dengarkan pendapatnya.
Dan Tim
Penasehat Hukum kedua terdakwa adalah Wahyu Widiyatmiko, S.H., Endy Mardeny
S.H., M.H., dan Akhmad Hendra S.H. Sementara JPU dari Kejaksaan Negeri Kota
Agung adalah Astrid Nurul Pratiwi, S.H., M.H., dan Dinda S.H., dari Kejaksaan
Negeri Kota Agung.
Usai
sidang, Ahli hukum pidana DR. Eddy Rifai
SH. MH., menjelaskan kepada awak media,
bahwa dalam KUHAP tidak mengatur alat bukti Elektronik.
"KUHAP
tidak mengatur alat bukti Elektronik, sehingga tidak dapat digunakan sebagai
alat bukti tindak pidana Konvensional seperti KUHP. alat bukti Elektronik dapat
digunakan sebagai alat bukti kejahatan white-collar, dalam hal diatur dalam
undang-undang tersebut seperti, UU ITE, UU Narkotika, UU Terorisme, UU TPPU, UU
Tipikor, dan lain-lain" Jelas Eddy.
Sedangkan terdakwa
Syahrial Aswad menurut Eddy Rifai, "Dijadikannya Syahrial Aswad itu
sebagai tersangka adalah berdasarkan CCTV, sedangkan CCTV itu sendiri bukan
CCTV asli, tapi rekaman atas CCTV. Sedangkan didalam KUHAP alat bukti
elektronik itu tidak ada, yang ada itu hanya saksi, surat, ahli, petunjuk dan
keterangan tersangka." Ujar Eddy.
Lebih lanjut
Eddy Rifai menjelaskan, "Kalaupun CCTV itu tetap akan dijadikan alat
bukti, dalam UU ITE telah diatur bahwa harus ada syarat formil maupun materil,
syarat formilnya adalah dia harus dijamin keontetikannya, kelengkapannya, dan
ketersediaannya, dan harus didasarkan dari ahli Forensik, baru dia bisa
dijadikan alat bukti elektronik" kata Eddy.
Eddy Rifai
juga menambahkan, bahwa rekaman CCTV itu tidak Syah untuk dijadikan alat
bukti, jika mengacu pada KUHAP.
"Kalau
ketentuan KUHAP alat bukti CCTV itu tidak Syah, tapi apabila hakim akan
menjadikan itu petunjuk, bisa, tapi petunjuknya ada pada Hakim, bukan pada
penyidik, kan 188 ayat 3 KUHAP menyatakan bahwa penilaian bukti petunjuk itu
ada pada Hakim, penyidik tidak bisa berdasarkan CCTV, Hakim pun harus
berdasarkan laboratorium forensik baru Hakim bisa pakai itu sebagai bukti
petunjuk," Imbuh Eddy.
Terkait asas
hukum in dubio pro reo, dalam kaitan suatu perkara yang minim pembuktian dan
terdapat saksi a decharge yang menjadi alibi terdakwa tidak berada ditempat
kejadian perkara, Eddy Rifai menjelaskan,
"Pasal-pasal
KUHAP tentang pembuktian dalam acara pemeriksaan, biasa diatur didalam pasal
183 sampai 202 KUHAP yang berbunyi: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak Pidana telah terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya. Menurut keyakinan tersebut seyogyanya
keyakinan hakim harus sesuai asas hukum in dubio pro reo." Jelas Eddy.
Ditambahkan
juga, "Menurut kamus hukum yang ditulis oleh Simorangkir, frasa in dubio
pro reo diartikan sebagai "Jika ada keragu-raguan mengenai sesuatu hal, haruslah
diputuskan hal-hal yang menguntungkan terdakwa" katanya.
Asas In dubio
pro reo sendiri sudah sering digunakan oleh Mahkamah Agung untuk memutus
perkara, diantaranya dalam putusan MA No. 33 k/MIL/2009 yang salah satu
pertimbangannya menyebutkan bahwa "
Asas In dubio pro reo yang menyatakan jika terjadi keragu-raguan apakah
terdakwa salah atau tidak, maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi
terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan" Imbuhnya.
Pasal 191
KUHAP yang menyatakan "Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang di dakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus
bebas" tambah Eddy Rifai.
Tentang
seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana, dengan ancaman pidana mati,
atau pidana diatas 15 tahun yang ditangkap dan diadakan penyidikan terhadapnya,
wajib didampingi Penasehat Hukum. Dan akibat hukumnya apabila proses penyidikan
tanpa didampingi Penasehat Hukum menurut Eddy Rifai,
"Berdasarkan
bunyi pasal 56 ayat (1) KUHAP yang menyatakan, bahwa dalam hal tersangka atau
terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana, yang diancam dengan
pidana mati, atau ancaman pidana 15 tahun atau lebih yang tidak mempunyai
penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.
Oleh karena bunyi pasal 56 ayat (1) menyatakan WAJIB, maka tersangka wajib
didampingi Penasehat Hukum sekalipun tersangka menolak penasehat hukum yang
disediakan APH, pemeriksaan tersangka tidak dapat diterima" Terangnya.
Putusan
Mahkamah Agung RI No. 1565 k/Pid/1991 tertanggal 6 September 1993, yang pada
pokoknya menyatakan, "Apabila syarat-syarat penyidikan tidak dipenuhi sepertinya
penyidik tidak menunjuk penasehat hukum bagi terdakwa sejak awal penyidikan,
maka tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima" Kata Eddy
Rifai.
Ditempat yang
sama Penasehat Hukum terdakwa Wahyu Widiyatmiko S.H., menjelaskan kepada awak
media, pertanyaan terhadap saksi ahli adalah terkait dengan pasal 184 KUHAP,
alat bukti, pasal 56 terkait pendampingan, wajib didampingi Penasehat Hukum,
dan terkait dengan penyitaan barang bukti.
"Kenapa
ini kita tanyakan kepada saksi ahli, karena pakta di persidangan bahwa satu
alat bukti berupa motor tidak pernah dipergunakan oleh terdakwa Bakas Maulana
untuk melakukan tindak pidana, dan menurut saksi ahli bahwa itu melanggar yang
diatur dalam UU, bahwa penyidik tidak berhak untuk melakukan penyitaan"
ujar Wahyu.
Selain itu
menurut Wahyu, "Motor yang di sita oleh polisi itu, hingga saat ini tidak
ada berita acara penyitaannya, atau tanda bukti penyitaannya." Imbuhnya.
Wahyu pun
menambahkan, "Terkait dengan CCTV, bahwa yang menyatakan terdakwa Syahrial Aswad adalah pelaku, adalah saksi dari keluarga korban bukan ahli
dari forensik. Sedangkan sesuai dengan
UU ITE dan menurut ahli, keterangan tersebut tidak Syah karena bukan dari ahli
forensik," tandas Wahyu. (**/ida/rls)
Comments