RJ 8 Tsk Koperasi Betik Gawi, Dr. Rinaldy : Diamnya Jaksa Tidak Menagih Perkara Patut Dipertanyakan
OTENTIK ( LAMPUNG ) -- Pakar Hukum Pidana Universitas Lampung (Unila) mempertanyakan soal diam nya jaksa yang tidak menagih perkara kepada pihak penyidik terkait penetapan 8 tersangka yang telah dilakukan Restorative Justice (RJ).
Pasalnya, Dr. Rinaldy Amrullah, S.H., M.H mengatakan, pada kasus Koperasi Betik Gawi berawal dari terminologi Restorative Justice, yang sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
"Restorative Justice itu mengembalikan ke keadaan semula karena adanya perdamaian. Maka tindak pidana dianggap seolah-olah tidak pernah terjadi tindak pidana, serta dinyatakan sah oleh penegak hukum karena sudah kesepakatan kedua belah pihak," terangnya.
Akan tetapi, dalam pandangan hukum, semestinya Aparatur Penegak Hukum (APH) bisa memberikan kepastian hukum kepada korban dari Koperasi Betik Gawi.
"Dari segi tugas dan fungsi polisi untuk mengungkap suatu dugaan tindak pidana, ini yang para korban serta masyarakat belum jelas kesimpulannya mengenai ditemukan ada atau tidak nya tindak pidana tersebut. Seharusnya jika sudah penetapan tersangka berarti perbuatan pidananya dianggap sudah ada dan alat bukti dinyatakan lengkap, tinggal memenuhi kekurangan dari jaksa untuk dilengkapi sehingga dapat disidangkan oleh pengadilan," jelasnya.
Menurutnya di kasus Koperasi Betik Gawi, maka penyidik Polda wajib mempertimbangkan apakah ini sebenarnya tindak pidana yang berdampak luas atau tidak.
"Kalau penghentian hanya dalam hal terjadi nya pembayaran, dalam pidana itu tidak menghapus sifat perbuatan melawan hukum pidana, kecuali gugatan perdata dalam hal pembayaran ganti rugi. Apalagi jika jumlah korban bukan hanya mewakili kepentingannya sendiri, tapi juga berdampak sama kepada para anggota koperasi lainnya. Sehingga penyidik wajib berkesimpulkan bahwa perkara itu berdampak luas sehingga tidak dapat dihentikan dengan dasar keadilan restoratif, karena bertentangan dengan peraturan kepolisian itu sendiri mengenai penghentian perkara yang seperti itu," ujarnya.
Kemudian, dengan adanya Restorative Justice pihak polisi seharusnya juga melihat dari segi korban yang mana diberikan perlindungan sampai dengan tuntasnya persoalan antara kedua belah pihak jika ada nya kesepakatan di dalamnya.
"Penyidik polda dalam penanganan suatu perkara, tidak dapat dengan serta merta menghentikan penyidikan jika bukan tidak pidana aduan secara perorangan, dan terhadap jaminan adanya pemenuhan hak korban menjadi tanggung jawab pihak kepolisian karena mengabulkan permohonan penghentian perkara. Oleh karena itu sebelum dihentikan perkara tersebut seharusnya sudah dipastikan pemenuhan hak-hak korban, kalaupun ada perjanjian penyelesaian di kemudian hari maka masih menjadi tanggung jawab pihak kepolian yang sekaligus memberi kepastian terhadap jaminan tersebut oleh pelaku. Jika saat ini kepolisian mau lepas tangan, tentunya tidak bisa. Hal ini sama saja dengan terjadi penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan kepada pihak korban. Karena penghentian tersebut terlaksana akibat dikabulkannya permohonan dari para pihak kepada pejabat kepolisian yang melakukan penyidikan pada perkara tersebut, maka para korban berhak mempertanyakan keberlanjutan cerita nya," imbuhnya.
Selain itu, ia juga mempertanyakan bagaimana proses penetapan 8 tersangka bisa dianggap selesai sedangkan ada proses yang sudah dijalankan kepada kejaksaan terkait penyidikan.
"Sejak dimulai nya penyidikan maka sudah ada surat perintah dimulai nya penyidikan (SPDP) kepada kejaksaan, sejak itu maka tindakan penyidik terhadap perkara yang sedang ditanganinya wajib diberitahukan perkembangannya kepada Jaksa yang ditunjuk untuk meneliti perkara tersebut, sehingga meskipun penghentian perkara tersebut inisatif nya ada di kepolisian namun tetap wajib mempertanggung jawabkan perbuatannya kepada pihak kejaksaan, sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan penyidikan dan mengeksekusi putusan pidana hasil persidangan di pengadilan. Untuk itu patut dipertanyakan kepada pihak kejaksaan, alasan dilakukannya penghentian dan bagaimana sikap kejaksaan dengan adanya penghentian perkara yang tersangkanya sudah ditetapkan," tanyanya.
Maka itu, semestinya para korban dapat mempertanyakan seperti apa kepastian yang semestinya didapatkan dalam perkara Koperasi Betik Gawi.
"Untuk itu kinerja pihak kejaksaan dalam perkara tersebut wajib dipertanyakan baik oleh masyarakat maupun korban yang merasakan langsung dalam perkara tersebut, karena menjadi tugas negara melalui aparaturnya memberikan perlindungan kepada para korban khususnya yang masuk dalam kategori renta. Apalagi korban disini adalah para pensiunan yang seharusnya mendapatkan penghargaan dari hasil kinerjanya selama ini, bukan justru merasa dipermainkan oleh para pelaku hukum itu sendiri. Jika pengentian perkara dengan dasar keadilan restoratif yang ternyata masih menyisakan persoalan, maka para korban wajib mendorong pihak kejaksaan untuk menarik kembali berkas perkara di kepolisian dalam rangka mendapatkan keadilan melalui meja persidangan di pengadilan yang mungkin saja akan lebih adil dibandingkan keadilan semu semata sebagaimana nama lembaganya," pungkasnya. (**)
Comments