Ketika Negara Jadi Perusahaan dan Presiden di Bawah Menteri
OLEH: ADIAN NAPITUPULU
Sekjen PENA 98
MENDENGAR talkshow Erick Thohir dan Karni Ilyas di salah satu chanel you tube terbaru membuat saya kaget luar biasa dan mengelus dada berkali kali.
Dalam pernyataannya di menit ke 11 detik ke 20, Erick Thohir menyampaikan keinginanan agar nanti Kementrian BUMN tidak lagi menerima dana dari APBN tapi cukup 1% dari pembagian Deviden. Menurut saya ini pernyataan berbahaya yang bisa merubah negara menjadi Perusahaan yang di biayai oleh laba usaha semata mata.
Ini bukan pernyataan main main, ini pernyataan yang keluar dari mulut seorang menteri yang tentunya tidak bisa dianggap remeh karena terkait dengan konstitusi dan Ideologi negara.
Baiknya Erick Thohir mempelajari bahwa mengelola negara itu bukan hanya sekedar berapa angka uang tapi di dalamnya ada mekanisme konstitusi dan kontrol melalui Parlemen sehingga penentuan anggaran kementerian juga harus persetujuan DPR dan Pemerintah bukan main asal ambil 1% laba BUMN.
Negara bisa mendapatkan uang dari berbagai sumber, bisa deviden BUMN, Pajak dan sebagainya. Semua uang itu tidak serta merta bisa di comot begitu saja karena penggunaanya akan di atur melalui APBN yang di buat bersama oleh DPR dan Pemerintah lalu menjadi UU dan berikutnya DPR di beri kewenangan juga untuk mengawasi penggunaan anggaran itu. Mekanisme ini tidak bisa di langgar walaupun Deviden BUMN berjuta juta kali lipat dari APBN.
Di sisi lain pernyataan ini menunjukan bahwa Menteri BUMN benar benar tidak memahami apa itu APBN yang di atur dalam konstitusi, tidak mengerti tentang tata kelola negara dan BUMN sebagai badan usaha milik negara bukan Negara Milik Badan Usaha.
Saya tidak tahu apa maksud dari Pernyataan Erick Thohir, apakah pernyataan yang lahir dari ketidak mengertian atau dari kesombongan sebagai menteri yang mengelola asset terbesar. Tapi apapun itu saya berharap Erick Thohir tidak berniat meniadakan atau mengerdilkan peran DPR dan Presiden dalam menyusun anggaran kementriannya.
Pernyataan ke dua di menit ke 34 detik ke 30, membuat saya cukup terganggu ketika Erick Thohir mengatakan bahwa Presiden juga titip Komisaris. Saya berharap maksud Erick Thohir bukanlah Presiden MENITIP tapi MEMERINTAHKAN untuk menempatkan. Kenapa demikian, makna kata Menitip dan Memerintahkan adalah dua hal yang sangat berbeda. Kata menitip menempatkan Presiden sebagai Pemohon dan Erick Thohir sebagai Penentu. Melalui pernyataannya itu Erick Thohir menempatkan dirinya seolah berada di atas presiden atau dengan kata lain Presiden lah yang menjadi pembantu dan Erick yang menjadi Presiden.
Sekali lagi saya tidak mengerti kenapa ucapan yang memutarbalik posisi Menteri dan Presiden itu bisa di ucapkan. Apa maksud dan tujuannya? Apakah ucapan itu ekspresi spontan dari imajinasi terpendam untuk menjadi capres 2024 atau tidak, saya juga tidak mengerti.
Saya berharap telinga saya salah mendengar atau nalar saya salah memaknai apa yang saya dengar karena jika kedua pernyataan yang saya dengar tidaklah salah dan alur nalar saya juga tidak salah maka boleh jadi kedua pernyataan itu merendahkan dua lembaga negara yaitu DPR dan Presiden.
Saran saya Erick Thohir sebagai menteri BUMN perlu meluruskan atau meralat atau melengkapi pernyataannya yang di tonton oleh sekian banyak orang agar tidak ada salah persepsi terkait pernyataan itu. Tapi jika Erick Thohir merasa yakin bahwa pernyataannya sudah sesuai dengan konstitusi dan mekanisme ketatanegaraan maka mungkin ini bisa menjadi diskusi menarik dengan para pakar tata negara, konstitusi termasuk dengan para legislator.***
Comments