Generasi yang Tak Diinginkan Sebuah Perbandingan Antara "Yang Disayang" dan "Yang Dibuang"
Oleh
: Adian Napitupulu
Sekjen PENA 98 (Persatuan Nasional
Aktivis 98)
(Catatan
Kecil Tentang Reformasi)
1966 Gemuruh
truk militer dan panser meraung, membelah jalan berdebu mengangkut mahasiswa
untuk berdemonstrasi. Dalam rangkaian peristiwa dari zaman bergolak itu, Mahasiswa FK UI, Arief Rachman Hakim dan
mahasiswa Unpar, Julius Usman tertembak dan meninggal dunia.
Tidak lama
kemudian melalui ketetapan MPRS no XXIX tanggal 5 Juli 1966 Arif Rachman Hakim
di tetapkan sebagai Pahlawan Ampera dan di kemudian hari menjadi salah satu
nama jalan di Kota Depok. Sementara Julius Usman juga di tetapkan sebagai Pahlawan
Ampera oleh Pangdam VI Siliwangi Mayjen H.R Dharsono lalu di makamkan di Taman
Makam Pahlawan Cikutra Bandung, satu hamparan dengan Makam Ernest Douwes Dekker
dan Kol A.E. Kawilarang. Selanjutnya nama Julius Usman di abadikan sebagai nama
salah satu Jalan di Kota Malang.
12 Maret 1967
Soeharto dilantik menjadi Presiden dan ditahun yang sama sekitar 14 Aktivis
Mahasiswa yaitu Slamet Sukirnanto, T Zulfadli, Fahmi Idris, Mar"ie
Muhammad, Firdaus Wadjdi, Soegeng Sarjadi, Cosmas Batubara, Liem Bian Khoen, Djoni
Simanjuntak, David Napitupulu, Zamroni, Yozar Anwar, Salam Sumangat dan Rahman
Tolleng diangkat Soeharto menjadi anggota Parlemen (DPR GR) tanpa melalui
pemilu.
Hampir di
setiap periode Pemerintahan Soeharto aktivis 66 ada yang di tempatkan menjadi menteri,
antara lain; Abdul Gafur (Menpora), Abdul Latief (Menaker), Cosmas Batubara
(Menteri Perumahan Rakyat), Mar'ie Muhammad (Menteri Keuangan), Akbar Tanjung
(Menpora), Fuad Bawazier (Menteri Keuangan). Selain diangkat menjadi anggota
Parlemen dan Menteri, tidak sedikit juga aktivis 66 yang kemudian diangkat
menjadi Duta Besar bahkan ada yang di beri kemudahan dan kesempatan menjadi
pengusaha bahkan konglomerat.
Selama 33
tahun Soeharto berkuasa penanaman modal asing merajalela hampir tanpa batas,
jutaan hektar lahan diberikan untuk kroni dan perusahaan asing melalui kontrak
karya (Freeport, Inco, Rio Tinto dll) menjadi Tambang dan kebun sawit. Disisi
lain Orde Baru mengistimewakan para Taipan dengan perlindungan, kemudahan dan
fasilitas, seperti Liem Bian Koen, Liem Sioe Liong, Liem Hong Sien, Oei Ek
Tjhong, Oei Hwie Tjhong, Cai Daoping, Tjoa To Hing, Oei Hwie Siang, Lie Moe
Tie, Poo Tjie Gwan, Tjie Tjien Hoan, Li Bai La, Tjia Han Poen, Liem Yu Chan,
Oei Suat Hong menjadi konglomerat yang menguasai ekonomi negara secara dominan
hingga hari ini.
Kesewenangan,
korupsi, kolusi, nepotisme, kekerasan, pelanggaran HAM, monopoli ekonomi dan
perampasan hak Rakyat mengisi hari hari Indonesia selama 33 tahun. Banyak
peneliti menuliskan angka antara 500 ribu hingga 1 juta jiwa manusia meninggal
dalam rangkaian kekerasan Orde Baru. Jumlah konflik Agraria tercatat 1.753
kasus dengan luasan lebih dari 10 juta hektar dan korban hampir 1,2 juta KK.
Kampus di
kepung panser, di bungkam, aktivis mahasiswa di kirim ke berbagai penjara
termasuk nusakambangan, satu persatu setiap periode selalu ada aktivis
mahasiswa, aktivis buruh, petani di tangkap, di culik bahkan di bunuh, ada
Marsinah, ada Udin Bernas. Kebebasan informasi di kebiri, puluhan media
termasuk Tempo, Sinar Harapan, Prioritas di breidel. Berbeda kata maka izin
terbitnya dicabut seketika.
Pinjaman luar
negeri dan Pasar bebas di setujui dan sebagai imbasnya Tenaga kerja asing
secara bertahap memasuki Indonesia sebagai bagian dari kontrak investasi dari
berbagai PMA.
Setelah
berkali kali perlawanan mahasiswa di patahkan, Embrio Pembangkangan mahasiswa yang lebih besar
mulai merebak di tahun 1996. Salah satunya adalah tragedi April Makasar
Berdarah dengan 3 korban jiwa yaitu Syaiful Bya, Andi Sultan Iskandar dan Tasrif
lalu tahun 1997 beruntun terjadi penculikan Mahasiswa dan Aktivis pemuda.
Mereka diculik dan tidak pernah di kembali, diantaranya; Dedy Hamdun, Abdul
Naser, Yani Afri, Sony, Nova Al Katiri, M Yusuf, Ismail, Petrus Bimo, Herman
Hedrawan, Suyat, Wiji Thukul, Ucok Munandar, Hendra Hambali, Yahdin Muhidin dan
Leonardus Nugroho (jasadnya di temukan
dengan luka tembak)
1998 Gemuruh
truk militer dan panser kembali meraung membelah jalan berdebu, namun kali
ini bukan untuk mengangkut dan mengawal
mahasiswa berdemonstrasi melainkan untuk berhadapan dengan Mahasiswa. Dari 1998
hingga 1999 merupakan periode perlawanan mahasiswa yang bersimbah darah. Derap
sepatu lars, suara kokangan senjata, letusan dan dentuman berbaur dengan orasi
dan teriakan menjadi suara yang didengar setiap hari. Satu satu Mahasiswa
gugur, di tembak mati di jalan tempat mereka sampaikan aspirasi, yaitu; Moses
Gatotkaca (8 Mei 98), Hedriawan Sie, Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan dan
Herry Hartanto (Trisakti 12 Mei 98), kemudian Engkus Kusnadi, Heru Sudibyo,
Sigit Prasetyo, Teddy Wardani dan Bernardus Realino Norma serta satu pelajar
Lukman Firdaus (Semanggi Satu, November 1998). Satu Mahasiswa UI, Yap Yun Hap
ditembak mati di Semanggi 28 September 1999. Di hari yang sama dua mahasiswa Lampung
juga meninggal dunia yaitu M Yusuf Rizal dan Saidatul Fitria. Satu mahasiswa
Palembang, Meyer Adriansyah meninggal pada tanggal 5 Oktober 1999.
Reformasi
tidak Gratis, Reformasi dibayar tunai dengan darah dan nyawa puluhan mahasiswa
dan aktivis (di luar dari ribuan lainnya yang luka dan cacat). Reformasi lahir
dari darah, keringat, air mata, luka dan memar puluhan ribu Mahasiswa.
Di atas
seluruh pengorbanan itulah kebebasan dibuka,
demokrasi dibangun dan Indonesia merangkai kembali harapan harapannya
diatas kesetaraan tanpa diskriminasi.
Berikutnya
puluhan partai baru berdiri, kebebasan Pers terbuka lebar, banyak organisasi
buruh, tani dan organisasi Rakyat di deklarasikan, jabatan Presiden di batasi 2
periode. Pileg, Pilpres dan Pilkada dilakukan dengan pemilihan langsung dan
suara terbanyak. Pemimpin baru bermunculan, Polisi dan Tentara dipisahkan dari
ABRI menjadi lebih profesional dalam tupoksi masing masing, Newmont dan
Freeport kembali ke pangkuan bumi Pertiwi, kembali dimiliki bangsa sendiri.
Reformasi
memang belum sempurna tapi pelan pelan buah buah Reformasi mulai tumbuh dan
dinikmati banyak orang termasuk mereka yang menolak Reformasi, termasuk para
pembenci Reformasi, bahkan juga dinikmati oleh mereka yang menembak, menculik,
menyiksa dan membunuh mahasiswa.
Hari ini,
setelah 22 tahun kemana para pejuang Reformasi itu? Aktivis 98 berbeda dengan
aktivis 66. Jika aktivis 66 demonstrasi dalam rentang waktu 60 hingga 90 hari,
kemudian menikmati jabatan dan kekuasaan selama 33 tahun, maka itu berbanding
terbalik dengan aktivis 98 karena sejak 22 tahun lalu hingga hari ini tidak ada
"hak hak istimewa" tidak ada "kemanjaan" tidak ada
"kemudahan dan kesempatan lebih" yang di peroleh aktivis 98 seperti
yang dulu pernah dinikmati aktivis 66.
Aktivis 98
adalah anomali dari sejarah Gerakan Mahasiswa pada umumnya. Mereka tidak punya
pemimpin tunggal, dominasi pergerakan tidak di monopoli kampus negeri, bergerak
hampir di 27 Propinsi. Beberapa perbedaan besar antara aktivis 66 dan 98 antara
lain adalah :
Aktivis 66
Berdemonstrasi dalam rentang waktu 60 hari hingga 90 hari.
Aktivis 98
Embrionya dimulai sejak 1996 dan mulai reda di tahun 2000 atau lebih dari 1300
hari.
Aktivis 66
mendapat dukungan Militer.
Aktivis 98 di
represi oleh militer.
Aktivis 66
meninggal 2 orang.
Aktivis 98
meninggal lebih dari 30 orang.
Aktivis 66
meninggal 2 orang dan keduanya diberi gelar pahlawan lalu diabadikan jadi nama
jalan.
Aktivis 98
dari 30 lebih yang meninggal tidak satupun di berikan gelar pahlawan dan tidak
ada yang di abadikan menjadi nama jalan.
Aktivis 66
beberapa bulan setelah Soeharto dilantik sebagian di angkat menjadi anggota DPR
tanpa melalui Pemilu.
Aktivis 98
sampai hari ini selama 22 tahun, sudah 5 Presiden tapi tidak ada aktivis 98
yang diangkat secara istimewa jadi anggota DPR tanpa Pemilu.
Aktivis 66
setiap periode pemerintahan Orde Baru selama 33 tahun selalu ada yang diangkat
jadi menteri sebagai representasi ide yang diperjuangkan generasinya.
Aktivis 98
selama 22 tahun tidak ada yang menjadi menteri sebagai representasi ide
generasi Reformasi.
Aktivis 66
diberi kemudahan dari negara untuk menjadi pengusaha dan membangun
konglomerasi.
Aktivis 98
tidak mendapatkan kemudahan dari negara untuk menjadi pengusaha dan membangun
konglomerasi.
Tulisan ini
merupakan perbandingan sejarah dari dua generasi yang berbeda dalam banyak hal
termasuk beda pilihan geraknya. Tulisan ini perbandingan dua generasi dengan
segala kekurangan, kelemahan dan kesalahan yang mungkin terjadi dalam proses
sejarah itu sendiri.
Memilih entah
berkolaborasi, entah berkonspirasi atau
berjalan sendiri dalam perjuangan akan memiliki konsekwensi nya masing
masing. Apakah kelak menjadi yang di sayang atau mungkin menjadi yang di buang
karena menjadi generasi yang tidak diinginkan. Apakah menjadi bagian dari
kekuasaan dengan seluruh kewenangan dan kekayaan atau hidup dengan berselimut
kesepian dipinggiran. Apakah menjadi "kuda tunggangan" dari cita cita
orang lain atau menjadi tuan dari cita cita generasi itu sendiri.
Semua pilihan
punya harga nya masing masing, harga yang harus di bayar entah sekarang atau
kemudian.
Semoga para
anak muda "pembangkang", pemuda pemudi yang "minim
kesabaran" para pemuda/i "penjawab zaman" para pemuda/i
"pengukir sejarah" bisa belajar dan memilih pola 66 atau pola 98
dengan segala kelemahan dan kekurangannya atau justru mampu mencari pilihan
pola yang baru dan keluar dari pilihan dua generasi itu.
Karena biar
bagaimanapun setiap generasi akan memiliki masalahnya sendiri, tantangannya
sendiri, dan setiap generasi akan mencari jawaban serta jalan keluar dari
masalah di zamannya. Setiap generasi akan melahirkan pejuang pejuang nya,
pemimpin pemimpinnya dan mengukir sejarah nya sendiri.
Akhir kata,
di tengah perbedaaan perbedaan antara kita, izinkan saya menyampaikan salam
hormat untuk para senior aktivis 45, 66, 74, 78, 80 an, salam hormat untuk
semua aktivis 98 dimanapun berada, salam hormat untuk semua aktivis yang sudah
ada, yang sedang ada dan mereka yang akan ada.***
(Boleh di
sebarluaskan dan dipublikasikan selama tidak merubah isi dan makna tulisan ini)
Comments