100 Hari Kerja Kapolri Dinilai Memiliki Semangat Kepolisian yang Demokratis
OTENTIK (JAKARTA) – Jenderal Listyo Sigit
Prabowo resmi menjabat sebagai Kapolri selama 100 hari kerja pada 8 Mei 2021.
Ia resmi dilantik sebagai orang nomor satu di Korps Bhayangkara itu pada 27
Januari 2021 lalu.
Sepanjang
perjalannya itu, kinerja dan upaya yang dilakukan Jenderal Sigit dalam
melakukan perubahan internal dan penegakan hukum dinilai sudah sesuai dengan
semangat kepolisian yang demokratis (Democratic Policing).
Demikian
disampaikan oleh Peneliti LIPI Prof (Ris) Hermawan Sulistyo. Menurutnya, 100
hari kerja Kapolri memperbaiki persoalan yang kompleks terjadi di seluruh
Indonesia dari hulu. Hal itu terlihat dari pelunciran beberapa aplikasi yang
dimanfaatkan sebagai fungsi pengawasan masyarakat maupun bagi internal
kepolisian.
"Jadi
yang dibenahi oleh Kapolri ini dari hulunya dulu, dengan membuat
aplikasi-aplikasi pengawasan hingga lalu lintas yang memudahkan pelaporan
publik kalau terjadi penyalahgunaan atau pelanggaran hukum baik dari masyarakat
maupun untuk internal polisi itu sendiri," kata Hermawan saat dihubungi
awak media, Jakarta, Sabtu (8/5/2021).
Menurut
Hermawan, dalam masa 100 hari kerja seorang pejabat negara apalagi sekelas
Kapolri memang tidak semudah membalikan telapak tangan dalam melakukan
perubahan secara komprehensif.
Pasalnya,
kata Hermawan, ada hal-hal yang harus diperhatikan dalam perjalanannya. Apalagi
jika semangat perubahan itu belum tersampaikan dengan baik ke ruang publik.
"100 hari kan tak bisa langsung memberikan apa maunya LSM, polisikan juga harus menjaga keseimbangan antara ruang publik, ruang pribadi dan ruang negara," ujar penulis buku Pemolisian Demokrasi itu.
Sebab itu, Hermawan menekankan, bahwa ada pihak-pihak yang menilai Polri saat ini belum menuju Pemolisian Demokrasi itu merupakan kekeliruan atau hanya berdasarkan subjektifitas.
"Faktanya tidak tahu datanya, itu berita umum hanya mengambil dari satu dua kasus," ucap Hermawan.
Jika dalih penindakan sewenang-wenang kepolisian dalam melakukan penanganan Pandemi Covid-19, Hermawan menyebut, di Indonesia jauh lebih humanis dibandingkan aparat di Negara India.
"Suruh
coba ke India lihat kalau polisi itu tak bertindak tegas, atau suruh mereka ketukaran
Covid-19 dulu biar tahu bahayanya. Orang itu akan berbeda ngomong soal Covid-19
itu kalau dia sudah kena Covid," tutur Hermawan.
Kepolisian
India bersikap represif, kata Hermawan, lantaran jika dibiarkan potensi
penularan virus corona akan semakin berbahaya. Sebab itu, jika polisi di
Indonesia masih terbilang lebih humanis dalam melakukan tindak tegas terkait
dengan penanganan Covid-19.
"Lalu
apa ukuran represif itu, apakah orang lewat kemudian ditembakin. Pembubaran
kerumunan ini kan jauh dari refresif, karena tujuan menyelamatkan orang yang
dibubarkan itu tidak tewas karena Covid," ujar Hermawan.
Bahkan disisi lain, Hermawan justru berpandangan, yang sebenarnya adalah representasi dari pihak-pihak yang menyerang tanpa tahu situasi nyata kondisi negara disaat pandemi Covid-19 tanpa adanya dukungan data yang kuat.
Bayangkan kalau dibiarkan, seperti India kita. Ini mau Lebaran, dan itu dibebankan kepada Negara, kok dibilang represif, "tutup Hermawan. (ida / rls)
Comments